7 Atraksi Wisata untuk Mengenal Sejarah Indonesia - White Horse | Sewa Bus | Harga Bus Pariwisata

Sewa Bus

Harga Bus Pariwisata

7 Atraksi Wisata untuk Mengenal Sejarah Indonesia

Wednesday, 03 October 2018

http://getlost.id/wp-content/uploads/2018/07/shutterstock_229311490-c-696x464.jpg

Belajar sejarah paling efektif adalah dengan melakukan perjalanan ke berbagai situs yang telah berdiri jauh sebelum kita terlahir. Tak perlu mengingat tanggal detailnya, cukup tahu bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi agar dapat lebih menghargai masa kini dan penuh harap untuk masa depan.

Dieng, Jawa Tengah

Kompleks candi Hindu di kaki pegunungan Dieng ini berada di ketinggian 2.000 meter dan diperkirakan dibangun antara akhir abad kedelapan hingga awal abad kesembilan – dan diduga sebagai candi tertua di Jawa. Sempat ditinggalkan oleh penduduk setempat, candi ini akhirnya ditemukan oleh tentara Inggris pada 1814 ketika mengunjungi Dieng dan melihat reruntuhan candi di tengah danau. Pada saat itu, dataran di sekitar Candi Arjuna memang sedang banjir sehingga membentuk danau kecil.

Barulah 42 tahun kemudian seorang pengukir dan fotografer Belanda bernama Isidore van Kinsbergen memimpin upaya pengeringan dan pengerukan di kawasan sekitar candi. Upaya ini kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1864. Beberapa candi yang telah ditemukan adalah Kompleks Candi Arjuna yang terdiri Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, Candi Sembadra dan Candi Semar; Kompleks Candi Gatotkaca dan Kompleks Candi Dwarawati yang masing-masing hanya tersisa satu candi; dan Candi Bima. Dari sekian banyak kompleks, Candi Gatotkaca merupakan favorit para fotografer karena letaknya yang lebih tinggi dari Kompleks Candi Arjuna.

Museum Kereta Api Ambarawa, Jawa Tengah

http://getlost.id/wp-content/uploads/2018/07/shutterstock_399292555-c.jpgBerada di Ambarawa, sekitar satu jam berkendara dari Semarang atau Yogyakarta, stasiun yang kini beralih fungsi menjadi museum ini memiliki salah satu kereta uap yang pernah berjaya pada zamannya. Kereta uap bergerigi ini sangat unik dan merupakan salah satu dari sedikit yang tersisa di dunia, di mana kereta lainnya terdapat di Swiss dan India.

Stasiun yang awalnya dikenal sebagai Stasiun Willem I ini dibangun pada 1873 atas permintaan Raja Willem I untuk mengangkut tentara ke Semarang. Hampir seabad kemudian, stasiun ini ditutup sehingga rute Magelang-Semarang-Yogyakarta pun tidak ada lagi. Pada 1976, Soepardjo Roestam yang menjabat Gubernur Jawa Tengah mengubah stasiun ini menjadi museum. Meski terkesan tua, bangunan dan semua peralatan di museum ini masih terpelihara dengan baik.

Dalam beberapa tahun terakhir, Museum Kereta Api Ambarawa menjadi titik start MesaStila Challenge, sebuah lomba lari yang digelar MesaStila dengan berbagai kategori lomba, mulai dari yang sejauh 11, 21, 42, 65, hingga 100 kilometer melalui lima gunung, yaitu Andong, Merbabu, Merapi, Telomoyo, dan Gilipetung. Uniknya lagi, para peserta juga berkesempatan berlari melalui beragam trek menantang, termasuk rel kereta yang melalui Stasiun Ambarawa.

Hotel Majapahit Surabaya

http://getlost.id/wp-content/uploads/2018/07/Hotel-Majapahit-Surabaya-1.jpgMenempati bangunan bergaya Art Deco, hotel mewah yang dibangun tahun 1910 ini awalnya bernama Hotel Oranje. Pada masa penjajahan Jepang berganti nama menjadi Yamato Hotel serta berubah fungsi menjadi penjara dan markas tentara, sebelum dikuasai kembali oleh Belanda dengan dikibarkannya kembali bendera Belanda di area hotel.

Pada 19 September 1945, pejuang Indonesia merebut hotel sekaligus merobek warna biru pada bendera Belanda, sehingga bendera yang berkibar pun menjadi bendera Indonesia. Insiden Bendera ini kemudian dipamerkan dalam bentuk lukisan yang masih terpajang di lobi. Peristiwa itu jugalah yang kemudian membuat hotel tersebut dijuluki Hotel Merdeka.

Pada 1946, Sarkies Bersaudara asal Armenia yang mendirikan hotel ini mengubah nama Hotel Merdeka menjadi Lucas Martin Sarkies Hotel. Dua puluh tiga tahun kemudian, Mantrust Holdings Co. menjadi pemilik baru dan mengubah namanya lagi menjadi Majapahit. Mandarin Oriental Hotel Group pernah mengelola hotel ini selama periode 1993 hingga 2006, sebelum akhirnya diakuisisi oleh PT Sekman Wisata. Kini hotel mewah berbintang lima tersebut memiliki total 143 kamar yang tersebar di bangunan berlantai duanya. Struktur aslinya masih dapat terlihat, meski eksterior maupun interiornya telah direnovasi.

Istana Maimun, Medan

http://getlost.id/wp-content/uploads/2018/07/shutterstock_155605298-c.jpgSiapa pun yang melintasi Jalan Brigjen Katamso, terutama menjelang malam, akan menikmati suguhan pemandangan unik dari Istana Maimun. Bahkan dari kejauhan pun bangunan ini tampak menonjol dengan dominasi warna kuning keemasan, warna kebesaran kerajaan Melayu.

Adalah Sultan Mahmud Al Rasyid, putra sulung pendiri kota Medan, yang membangun Istana Maimun ini bersama arsitek asal Italia. Berbagai kebudayaan turut mempengaruhi arsitektur istana ini, mulai dari Melayu, Moghul, Timur Tengah, Spanyol, India, dan Belanda. Bentuk pintu dan jendela yang lebar dan tinggi merupakan ciri khas bangunan Belanda. Sementara pengaruh Islam tampak dari bentuk atapnya yang melengkung. Memiliki tinggi lengkungan hingga delapan meter, bentuk lengkungan ini populer di Timur Tengah dan India.

Sejak 1946, para ahli waris Kesultanan Deli – yang hingga kini masih ada meski tidak lagi memiliki kekuatan politik – menghuni Istana Maimun. Di saat-saat tertentu, misalnya ketika pesta pernikahan digelar pertunjukan musik tradisional Melayu yang juga dapat dinikmati untuk umum. Selain itu, setiap enam bulan, Sultan Deli juga masih kerap mengadakan acara silaturahmi antar keluarga besar kerajaan.

Taman Sari, Yogyakarta

http://getlost.id/wp-content/uploads/2018/07/03021173-c.jpgSetelah membangun keraton sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sultan Hamengku Buwono I memerintahkan seorang arsitek Portugis bernama Demak Tegis dan Bupati Madiun sebagai mandor untuk membangun sebuah istana di selatan keraton pada 1758. Istana yang terletak di tengah danau dan pulau buatan ini kemudian dinamai Taman Sari. Seluas lebih dari sepuluh hektar dan terdiri lebih dari 50 bangunan, kompleks istana ini membentang hingga ke tenggara kompleks Magangan. Kini, yang tersisa hanyalah yang berada di barat daya kompleks Kedhaton.

Memasuki kawasan ini melalui gerbang belakang – gerbang depannya telah tertutup pemukiman penduduk – pengunjung akan melalui Gedhong Sekawan, yaitu empat bangunan yang dulu merupakan tempat beristirahat keluarga raja. Di sini jugalah dulu para putri kerajaan bersantai dengan mengecat kuku menggunakan jeruk kingkit yang pohonnya tumbuh di sekitar Gedhong Sekawan. Setelah melewati area tersebut dan memasuki Gapura Panggung, terdapat kolam pemandian yang terbagi menjadi tiga area, yaitu Umbul Kawitan (untuk putra-putri raja), Umbul Pamuncar (untuk para selir), dan Umbul Panguras (untuk raja). Pengunjung juga kemudian akan melihat menara pribadi Sultan yang berisi ruang sauna serta ruang ganti dengan loker dan sebuah periuk tempat istri raja bercermin. Gedhong Kenongo, bangunan tertinggi di Taman Sari, adalah tempat untuk menikmati matahari terbenam sekaligus panorama sekitar dari ketinggian. Halaman depan Taman Sari ditumbuhi pohon kenanga yang sengaja ditanam untuk menyebarkan wangi ke seluruh penjuru taman.

Hotel Indonesia Kempinski Jakarta

http://getlost.id/wp-content/uploads/2018/07/Hotel-Indonesia-Kempinski-Jakarta.jpgHotel Indonesia adalah hotel berbintang pertama di Indonesia yang dibangun dengan standar internasional. Soekarno meresmikannya tahun 1962 dan menggunakan hotel ini untuk menyambut para atlet dan tamu mancanegara yang berkunjung ke Jakarta dalam perhelatan Asian Games IV. Sejak saat itulah hotel ini beserta bar dan restorannya mulai dikenal dunia.

Bertujuan untuk menampilkan Indonesia yang modern, Soekarno menugaskan arsitek berkebangsaan Amerika Serikat, Abel Sorensen, dan istrinya, Wendy, untuk mendesain bangunan seluas 25.000 meter persegi tersebut. Bangunan ini dirancang berbentuk huruf T untuk memamerkan pemandangan ibu kota tanpa terhalang serta memastikan tamu dapat menikmati hangatnya matahari di ruangan mana pun mereka berada. Tak hanya modern, rancangan Sorensen ini juga menampilkan paduan arsitektur dengan nuansa lokal, yaitu Sumatera Barat.

Terlepas dari desainnya yang modern dan minimalis, hotel ini memiliki koleksi seni dalam jumlah besar, baik karya seniman lokal maupun internasional. Soekarno yang menggemari seni dan memiliki selera yang baik ikut mengawasi pembangunan awal hotel tersebut dan bertekad menampilkan kebudayaan Indonesia di seluruh sudutnya. Beberapa karya seni yang menghiasi hotel antara lain patung Dewi Sri karya Trubus di halaman depan hotel, relief kehidupan masyarakat Bali di dinding lobi utama, serta lukisan flora dan fauna Indonesia karya seniman Lee Man Fong.

Di tahun 2004, hotel ini berpindah tangan dan berada di bawah pengelolaan Kempinski. Dengan pengalaman selama satu abad mengelola berbagai hotel terbaik dunia, Kempinski menghidupkan kembali dan mengelola hotel kebanggaan Indonesia ini dengan cara modern – menawarkan layanan mewah dan berkualitas tinggi sembari melestarikan kebudayaan Indonesia. Meski sempat direnovasi agar tampil lebih modern dan kontemporer, eksteriornya masih dipertahankan.

Fort Rotterdam, Makassar

http://getlost.id/wp-content/uploads/2018/07/shutterstock_143648746-c.jpgBenteng ini telah menyaksikan berbagai peristiwa penting dalam sejarah. Didirikan pada 1545 oleh Raja Gowa kesepuluh bernama Imanrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung, bangunan yang awalnya bernama Benteng Jumpandang (Ujung Pandang) ini hanya berbahan dasar tanah liat dengan mengadaptasi ciri arsitektur Portugis dengan bentuk perseginya. Barulah pada pemerintahan Sultan Alauddin, Raja Gowa ke-14, materialnya diganti dengan batuan karst hitam yang diambil dari pegunungan karst di Maros. Benteng ini juga diperluas dengan bentuk yang menyerupai penyu, sehingga namanya pun berubah menjadi Benteng Pannyua (penyu dalam bahasa setempat). Bentuknya tak hanya unik, namun juga mengandung makna yang dalam. Bagai penyu yang dapat hidup dua alam, Kerajaan Gowa pun diharapkan dapat berjaya di daratan maupun lautan – dan memang tak lama kemudian kekuasaan mereka diakui dan dihormati hingga ke seluruh Nusantara.

Sekitar tahun 1666, Belanda menyerang kerajaan ini karena lokasinya yang strategis untuk mengontrol perdagangan rempah-rempah. Sultan Hasanuddin yang saat itu berkuasa pun terpaksa harus menandatangani Perjanjian Bungaya yang salah satu isinya mewajibkan kerajaan untuk menyerahkan benteng kepada Belanda. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Cornelis Speelman kemudian membangun kembali benteng yang sempat hancur saat peperangan itu. Tak hanya menerapkan arsitektur khas Belanda, Speelman juga menambahkan benteng lain di sisi barat. Nama bentengnya pun berganti menjadi Fort Rotterdam untuk mengenang kota kelahiran Speelman. Di masanya, benteng ini menjadi pusat pemerintahan Belanda di Indonesia Timur sekaligus pusat penampungan rempah-rempah.

Di kompleks Fort Rotterdam ini juga terdapat museum pertama yang didirikan di Sulawesi bernama Museum La Galigo. La Galigo adalah raja muda di Kerajaan Luwuk pada abad ke-14 yang juga putra Sawerigading Opunna Ware, tokoh dalam mitologi Bugis. Nama ini juga mengacu pada I La Galigo, puisi epik terpanjang di dunia berbahasa Bugis dan terdiri 300.000 baris. Di museum ini, pengunjung dapat melihat berbagai koleksi zaman prasejarah, keramik asing dan peta lokasi penemuan keramik, selain koleksi Kerajaan Luwu, Bone, Sawitto, dan Gowa.

Sumber: Get Lost

 

Artikel Terpopuler